Sejarah penataan ruang
Pemikiran tentang penataan ruang di Indonesia
timbul pada awal abad XX dan merupakan hasil perubahan administrasi yang
ditetapkan dalam Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada 1903.
Hal ini membuka jalan untuk diberlakukan Ordonansi Dewan Lokal (Locale
Radenordonnantie) yang menetapkan peraturan bagi pembentukan pemerintahan lokal
mengenai pemikiran berbagai tema mulai dari kesehatan, garis sempadan
bangunan bahkan aspek pembiayaan.
Pada 1907, W.T. de Vogel, seorang dokter dan
anggota dewan kota Semarang, meminta K.P.C. de Bazel seorang arsitek yang
berdomisili di Belanda, membuat sketsa awal untuk rencana perluasan daerah
berbukit di selatan Semarang. kemudian, dewan kota secara resmi meminta Herman
Thomas Karsten (1884-1945), seorang arsitek yang bekerja sebagai manajer
perkantoran di kantor arsitektur Henri Maclaine di Semarang,
Tujuh tahun kemudian
pemerintah membeli lahan Ketapang dan
Ngagel untuk keperluan mengalihkan beberapa kementerian dari Batavia ke
Bandung, dewan kota Bandung mulai pertengahan 1910-an memperluas wilayahnya ,
Biro Insinyur dan Arsitek mengajukan rencana perluasan untuk bagian utara kota
Pada 1945 dibentuk Kantor Perencanaan Pusat untuk
Jawa dan Madura’ yang diterbitkan dalam de OPSRACHT. kemudian kegiatan ini
dapat diperluas ke seluruh wilayah nusantara dengan tujuan utama adalah
menetapkan arah perencanaan dan pedoman untuk pengembangan kotamadya. Kloos
mengusulkan agar rencana pertama, yakni suatu rencana pembangunan umum untuk
Jawa, menangani lima aspek perencanaan yang terpisah tetapi saling terkait :
pertanian, industrialisasi, kolonisasi (transmigrasi), rekreasi dan lalu lintas. Sedangkan Van Toorenburg
berpendapa tuntuk mendirikan kantor pusat yang akan memberi petunjuk dan
nasehat untuk membuat rencana perkotaan, . Menurut pendapatnya, ada tiga unsur
yang harus ada dalam hubungan dengan perencanaan: keahlian, pendidikan dan
undang-undang